Lintassuara.id – Polemik sistem pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2025 kembali mencuat. Sejumlah aktivis menilai bahwa sistem yang seharusnya menjadi pintu akses pendidikan justru berubah menjadi penghalang. Mereka menyoroti kerancuan dalam implementasi jalur domisili (zonasi) dan jalur prestasi di bidang akademik, yang dinilai tidak hanya membingungkan tetapi juga mendiskriminasi. Sabtu (06/7/2025)
Aktivis Tangerang Utara, Udin menyebut kebijakan SPMB tahun ini sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam merancang sistem pendidikan yang adil dan rasional.
“Ini bukan cuma soal teknis, ini soal logika. Bagaimana mungkin jalur domisili yang seharusnya fokus pada zonasi, malah mensyaratkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) ?, Jika yang dinilai adalah kedekatan geografis, mengapa NEM masih dipakai sebagai dasar seleksi? Ini rancu dan tidak masuk akal,” tegas Udin.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan yang berlaku saat ini justru mencampuradukkan dua pendekatan berbeda antara Jalur Domisili (zonasi) yang berbasis lokasi dan Jalur Prestasi di bidang akademik yang berbasis capaian individu. Akibatnya, banyak siswa yang memenuhi satu kriteria malah terjegal oleh kriteria lain yang semestinya tidak relevan.
“Jalur prestasi di bidang akademik seharusnya menjadi pengakuan atas kerja keras dan capaian belajar siswa. Tapi sekarang, banyak siswa berprestasi tinggi justru tersingkir karena mekanisme yang tidak jelas dan tumpang tindih ” ujarnya.
Kekacauan ini menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak memahami konsep keadilan dalam pendidikan. Jalur Domisili (zonasi) seharusnya membuka peluang bagi siswa yang kurang mampu bersaing secara akademik agar tetap mendapat akses sekolah terdekat, sementara jalur prestasi dibuka untuk anak-anak yang unggul dalam bidang tertentu—tanpa hambatan geografis.
“Yang terjadi sekarang adalah pembatasan di semua sisi. Anak pintar tidak bisa masuk karena tidak satu zona. Anak dekat sekolah tidak bisa masuk karena nilainya kurang. Akhirnya, tidak ada yang merasa diuntungkan oleh sistem ini. Yang ada hanya kebingungan massal,” ungkapnya.
Tak hanya membingungkan, Udin juga menilai sistem ini sangat rentan terhadap praktik manipulasi nilai dan Suap meyuap. Ia mendesak Kemendikbudristek segera melakukan audit sistem SPMB dan menghapus tumpang tindih regulasi yang merugikan siswa.
“Ini bukan Hal sepele ! Kami mendesak evaluasi total. Pendidikan adalah hak anak, dan negara tidak boleh mempersulit mereka dengan sistem yang absurd seperti ini,” tutup Udin dengan nada tegas.
Seiring meningkatnya tekanan publik, harapan agar pemerintah mengambil langkah konkret dan cepat pun semakin besar. Jika tidak, kekacauan dalam proses pendaftaran akan terus berulang dan menjadi mimpi buruk tahunan bagi jutaan calon siswa dan orang tua di seluruh Indonesia.
(Al)