Lintassuara.id – Mahasiswa bukan sekadar orang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mahasiswa memikul identitas sosial-politik yang sejak dahulu memainkan peran strategis: menjembatani kekuasaan dan rakyat, serta menyuarakan mereka yang selama ini dibungkam.
Namun hari ini, saya—dan mungkin banyak dari kita—perlu bertanya dengan getir:
“Ke mana arah gerakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kabupaten Tangerang?”
Dari pengamatan yang jujur, kita melihat nalar kritis di kampus semakin meredup. Mahasiswa jarang mengadakan kajian substantif. Mereka pun jarang melahirkan gerakan yang berpijak pada keresahan rakyat. Organisasi mahasiswa sibuk menyelenggarakan seremoni, namun mengesampingkan substansi.
Sejarah Tak Pernah Diam: Mahasiswa dari Masa ke Masa
Mahasiswa kita hari ini tampaknya telah melupakan fondasi gerakan: kajian yang kuat, konsolidasi yang rapi, dan aksi yang berdampak. Padahal ketiganya membentuk ruh pergerakan mahasiswa. Jika kita hanya menyusun agenda dan proposal, kita tidak menciptakan perubahan sosial apa pun.
Sejarah membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia selalu tampil dalam momen-momen krusial perjalanan bangsa. Mereka tidak mengejar ketenaran, tapi memahami bahwa kekuasaan yang dibiarkan tanpa pengawasan akan menyengsarakan rakyat.
- 1908: Para mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo. Mereka mempelajari ilmu kedokteran sekaligus belajar menjadi manusia merdeka.
- 1928: Mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul dan mengikrarkan Sumpah Pemuda. Mereka memahami bahwa bangsa ini tidak akan merdeka jika tetap tercerai-berai.
- 1966: Mahasiswa mengguncang Orde Lama melalui aksi Tritura. Mereka mendesak Soekarno mundur karena gagal menyelamatkan kondisi politik dan ekonomi.
- 1974: Mahasiswa menolak intervensi modal asing lewat gerakan Malari. Mereka memperjuangkan kedaulatan ekonomi, bukan sekadar melontarkan slogan nasionalisme.
- 1998: Mahasiswa memimpin Reformasi. Mereka menghadapi peluru dan gas air mata demi menuntut keadilan demokratis. Setelah itu, gerakan mahasiswa terus berlanjut. Meski bentuknya berubah, mereka tetap mempertahankan idealisme.
Kabupaten Tangerang Pernah Menorehkan Jejak
Tak hanya Jakarta atau Bandung, Kabupaten Tangerang juga punya sejarah perjuangan mahasiswa.
Pada 2019, mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan dan menolak RUU Omnibus Law. Mereka membangun gerakan tersebut melalui konsolidasi panjang, kajian mendalam, dan koordinasi lintas kampus. Kita berhasil mencatatkan diri dalam sejarah nasional.
Di tahun-tahun berikutnya, mahasiswa Kabupaten Tangerang juga menggelar aksi menolak kebijakan PPKM, mengikuti Aksi Kamisan, serta mengangkat isu-isu nasional lainnya.
Gerakan-gerakan itu menunjukkan bahwa kita pernah membangun kesadaran kolektif. Bahkan lebih dari itu, kita pernah menunjukkan keberanian.
BEM Berubah Jadi Lembaga Seremoni.
Dinamika kini mulai memudar saat adanya Gerakan BEM Banten yang kini disorot oleh aktivis mahasiswa yang menilai tidak adanya Output. BEM Kabupaten Tangerang tidak lagi terlibat aktif dalam forum-forum kritis. Mahasiswa nyaris tak mengadakan kajian publik terkait isu pendidikan lokal, ketimpangan sosial, atau pelayanan masyarakat. Mereka mengabaikan fungsi advokasi. Aksi yang mereka lakukan kehilangan strategi. Kegiatan yang mereka jalankan hanya formalitas jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat.
Kita patut bertanya:
Apakah BEM Kabupaten Tangerang masih memahami tanggung jawab sosialnya?
Apakah kita pantas menyandang nama “Eksekutif mahasiswa” jika kita meninggalkan fungsi advokasi dan representasi?
Kita Butuh Kebangkitan yang Dimulai dari Kejujuran
Saya tidak menulis ini untuk menyalahkan siapa pun. Saya menulis karena saya yakin masih ada yang peduli.
Masih ada yang merasa gelisah. Masih ada yang menyadari bahwa mahasiswa tidak boleh sekadar menjadi pelengkap sistem yang menindas.
Kita perlu kembali ke akar.
Kita harus menghidupkan kembali forum kajian independen, diskusi lintas kampus, dan advokasi berbasis riset. Kita perlu menyalakan kembali semangat intelektual yang dahulu menjadi kekuatan mahasiswa Kabupaten Tangerang.
Yang paling penting, kita harus berani menolak kultur senioritas yang membungkam. Kita hanya bisa membangun gerakan yang hidup melalui akal sehat dan keberanian—bukan ketakutan.
Penutup: Jangan Jadi Generasi yang Mati Sebelum Bertarung
Soe Hok Gie pernah menulis:
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Kata-kata itu seharusnya kembali kita nyalakan sebagai pelita.
Jangan biarkan idealisme mahasiswa mati.
Jangan biarkan kita sibuk memikirkan struktur, lalu melupakan substansi.
Bangkitlah BEM Kabupaten Tangerang.
Hidupkan kembali suara kritis yang berpihak pada rakyat.
Jadilah wadah yang mencerdaskan—bukan yang membungkam.
Karena kita bukan hanya generasi penerus.
Kita adalah generasi penentu.
Oleh: Farhan Rafiqi
Presiden Mahasiswa Universitas Tangerang Raya